Senin, 23 Maret 2009

Editorial : Lulus Tanpa Arti

Tuesday, 03 October 2006

Jakarta (Media Indonesia: 20/06/06) SAAT yang amat mendebarkan bagi siswa dan orang tua murid SLTA berakhir. Departemen Pendidikan Nasional mengumumkan berita gembira bahwa ujian nasional (UN) untuk siswa tingkat sekolah lanjutan atas menghasilkan angka spektakuler. Tahun ini angka rata-rata kelulusan untuk tingkat SLTA adalah 91,43%, meningkat dari tahun sebelumnya yang 80,76%. Artinya yang tidak lulus kurang dari 10%.

Angka kelulusan nasional di atas 90% seolah mengatakan mutu pendidikan Indonesia telah memiliki standar nasional. Atau dengan kata lain, disparitas mutu anak didik antara daerah tertinggal dan daerah maju, antara Jawa dan luar Jawa, tidak menjadi persoalan lagi.

Akan tetapi, persoalan sesungguhnya tidaklah demikian mudah. Dunia pendidikan masih menyimpan kerumitan krusial. Sektor itu belum menjadi sumber mutu kehidupan seperti yang diperlihatkan dalam angka-angka kelulusan. Sektor itu sesungguhnya belum lulus sebagai sumber mutu kehidupan nasional.

Pertanyaan yang paling menyakitkan adalah apa gunanya angka kelulusan itu bagi siswa yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi? Lalu, bagi yang lulus dan tidak melanjutkan ke bangku kuliah, tetapi mencari pekerjaan, apakah begitu berarti angka-angka tersebut?

Sistem rekrutmen ke jenjang perguruan tinggi yang sekarang berlaku menafikan angka kelulusan. Mengapa? Karena siswa yang telah lulus ujian akhir nasional tidak memperoleh jaminan apa-apa untuk diterima di universitas atau akademi. Mereka harus diuji lagi oleh lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan tinggi.

Kalau ujian nasional SLTA begitu penting dan bermutu, seharusnya perguruan tinggi tidak lagi melakukan seleksi ulang. Yang dilakukan cuma memberi batas nilai terendah dari angka kelulusan untuk menjaga citra dan mutu universitas bersangkutan.

Misalnya, sebuah universitas menetapkan hanya menerima mahasiswa baru yang angka kelulusannya 8 (delapan) ke atas. Dengan demikian siswa-siswa yang lulus UN dengan angka 8 ke atas otomatis diterima di perguruan tersebut. Bagi siswa dengan angka kelulusan di bawah 8, mereka juga berhak masuk ke universitas yang mengakomodasi standar nilai seperti itu.

Namun, apa yang terjadi sekarang? Mereka yang sempat mengikuti ujian masuk universitas gelombang awal dan dinyatakan lulus ternyata tidak lulus UN. Di tengah semangat komersialisasi perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi negeri, lulusan SLTA baik dengan angka rendah maupun tinggi tidak ada bedanya lagi.

Yang mendapat angka kelulusan rendah, tetapi mampu membayar tinggi, diterima juga di bangku perguruan tinggi yang menerapkan standar mutu tinggi. Itu yang pada gilirannya merontokkan mutu perguruan tinggi.
Jangan ditanya lagi apa arti angka kelulusan bagi mereka yang mencari kerja. Tamatan SLTA dalam dunia kerja dianggap sebagai output yang tidak memiliki kompetensi apa-apa, kecuali pekerja kasar.

Dunia pendidikan sedang diingkari. Diingkari sesama institusi pendidikan, diingkari dunia kerja. Angka kelulusan memang penting, tetapi yang lebih penting adalah terciptanya sebuah sistem pendidikan yang bermutu dari SD sampai universitas.

http://www.sfeduresearch.org/content/view/29/69/lang,id/

Tidak ada komentar: